Jumat, 28 Desember 2012

KESATUAN SILA-SILA PANCASILA SEBAGAI SUATU SISTEM FILSAFAT


Oleh: Tusiyati PDSD UPY A4*


PENTINGNYA SILA-SILA PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSFAT
Perkembangan masyarakat semakin cepat baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal tersebut bisa mengakibatkan perubahan besar terhadap bangsa di dunia. Melalui globalisasi kekuatan internasional  telah mengancam bahkan menguasai eksistensi negara-negara kebangsaan termasuk bangsa indonesia. Permasalahan kebangsaan dan kenegaraan di indonesia semakin kompleks dan rumit di satu sisi terdapat ancaman internasional dan di sisi lain muncul masalah internal, yaitu maraknya tuntutan rakyat yang secara objektif kehidupan sekarang masih kurangnya kesejahteraan dan keadilan sosial. Konflik internal tersebut dapat mengancam jati diri bangsa dan banyaknya nilai-nilai baru yang masuk serta terjadinya pergeseran nilai yang terjadi di masyarakat yang pada akhirnya mengancam pinsip-prinsip hidup berbangsa.

Prinsip-prinsip dasat yang telah ditemukan ileh prletak dasar (the founding fathers) negara Indonesia yang kemudian diabstaksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat bernegara yang disebut Pancasila. Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia telah mengalami ancaman dari munculnya nilai-nilai daru dari luar dan pergeseran nilai yang terjadi. Secara ilmiah masyarakat atau bangsa senantiasa memiliki pandangan hidup atau filsafat hidup yang berbeda dengan bangsa lain hal ini disebut sebagai local genius (kecerdasan/kreativitas lokal) dan sebagai local window (kearifan lokal) bangsa. Bangsa ndonesia tidak mungkin memiliki kesamaan pandangan hiduo dan filsafah hidup dengan bangsa lain.
Jati diri bangsa akan  selalu bertilak ukur kepada nilai-nilai Pancasila sebagai filsafat negara. Kesatuan sila-sila  Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis tetapi menyangkut aspek ontologis, aspek epistemologis, dan aspek aksiologis dari sila-sila Pancasila.

HAKIKAT FILSAFAT PANCASILA
Filsfat berasal dari bahsa yunani yaitu philein, yang berarti cinta dan sophia, yang berarti kebijaksanaan. Filsafat menurut asal katanya berarti cinta akan kebijakan atau mencintai kebenar/pengetahuan. Cinta mempunyai arti seluas-luasnya, yang dapat dikemukakan sebagai keinginan yang menggebu dan sungguh-sungguh terhadap sesuatu, sedangkan kebijaksanaan diartikan sebagai kebenaran yang sejati.
Filsafat merupakan ilmu induk pengetahuan. Timbulnya ilmu pengetahuan tersebut dapat dilihat dari sejarah, yang sebelumnya dibawah filsafat. Manusia dalam kehidupan pasti memiliki pandangan hidup yang dianggap paling benar, baik dan membawa kesejahteraan dalam kehidupannya dan pilihan itulah yang disebut filsafat. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan muncul dan berkembanglah ilmu filsafat yang berkaitan dengan bidang-bidang ilmu tertentu misalnya filsafat politk, filsafat bahasa, filsafat ilmu pengetahuan, filsafat lingkungan dan filsafat yang berkaitan dengan bidang ilmu yang lain (Kaelan, 2007).
2. Filsafat Pancasila
Menurut Ruslan Abdulgani, pancasila merupakan filsafat negara yang lahir sebagai colective ideology (cita-cita bersama) seluruh bangsa indonesia. Pancasila dikatakan sebagai filsafat karena hasil perenungan jiwa  yang mendalan dan dilakukan oleh the faunding father, kemudian dituangkan dalam suatu sistem yang tepat. Menurut Notonegoro, filsafat memberikan pengetahuan dan pengertian ilmiah, yaitu tentang hakikat pancasila.

KARAKTERISTIK SISTEM FILSAFAT PANCASILA
Pancasila memiliki karakteristik sistem filsafat tersendiri yang berbeda dengan filsafat yang lain yaitu:
1. Sila-sila pancasila merupakan satu kesatuan sistem yang bulat dan utuh (sebagai  suatu totalitas). Apabila tidak bulat dan utuh atau sila yang satu dengan sila lainnya  terpisah-pisah itu bukan pancasila.
2. Susunan pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh dapat digambarkan sebagai berikut:
a.       Sila 1 meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2, 3, 4, 5.
b.      Sila 2 diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari serta menjiwai sila 3, 4, 5.
c.       Sila 3 diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2 dan mendasari serta menjiwai sila 4, 5.
d.      Sila 4 diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, 3 dan mendasari serta menjiwai sila 5.
e.       Sila 5 diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, 3, 4.
3. Pancasila sebagai suatu substansi, artinya unsur asli/permanen/primer Pancasila sebagai suatu yang mandiri, yang unsur-unsurnya berasal dari diri sendiri.
4. Pancasila sebagai suatu realita, artinya ada dalam diri manusia Indonesia dan masyarakat sebagai suatu kenyataan hidup bangsa, yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari (Heri Herdiawanto, 2010).

PRINSIP-PRINSIP FILSAFAT PANCASILA
Ditinjau dari Aristoteles, Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kausa Materialis yaitu sebab yang berhubungan dengan materi/bahan. Dalam hal ini pancasila digali dari nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam  bangsa Indonesia sendiri.
2. Kausa Formalis yaitu sebab yang berhubungan dengan bentuknya. Pancasila yang ada dalam pembukaan UUD’ 45 memenuhi syarat formal (kebenaran formal).
3. Kausa Efisiensi yaitukegiatan BPUPKI dan PPKI dalam menyusun dan merumuskan pancasila menjadi dasar negara merdeka.
4. Kausa Finalis yaitu berhubungan dengan tujuannya, yaitu tujuan diusulkannya Pancasila sebagai dasar negara merdeka.

LANDASAN ONTOLOGIS PANCASILA
Kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksud sebagai upaya untukmengetahui hakikat dasar sila-sila Pancasila. Menurut Notonagoro, hakikat dasar ontologis Pancasila adalah manusia, karna Pancasila merupakan subyek hukum pokok sila-sila Pancasila. Dijelaskan bahwa berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkesatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada hakikatnya adalah manusia (Kaelan, 2005).
Hakikat dasar keberadaan sila-sila pancasila adalah manusia. Notonegoro mengungkapkan bahwa manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri dari susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani, sebagai makhluk individu  dan sosial serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Kaelan, secara hierarkis sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila lainnya.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak, yaitu bersifat kodrat monodualis, sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial dan kedudukannya sebagai makhluk pribadi  yang berdiri sendiri, juga sekaligus sebagai makhluk Tuhan. Konsekuensinya adalah segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai-nilai Pancasila yang merupakan suatu kesatuan yang utuh yang memiliki sifat dasar yang mutlak berupa sifat kodrat manusia yang monodualis tersebut.
Seluruh nilai Pancasila tersebut menjadi dasar rangka dan jiwa bagi bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa setiap aspek penyelenggaraan  negara harus dijabarkan dan bersumber pada nilai-nilai Pancasila, seperti bentuk negara, sifat negara, tujuan negara, tugas negara, kewajiban negara dan warga negara, sistem hukum negara, moral negara, dan segala aspek penyelenggaraan negara lainnya.

LANDASAN EPISTEMOLOGIS PANCASILA
Kajian epistemologi filsafat Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Epistemologis merupakan bidang filsafat yang membahas  hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistemologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologinya. Maka dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya yaitu tentang hakikat manusia.
            Menurut Titus (1984: 20), terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologis, yaitu tentang: sumber pengetahuan manusia, teori kebenaran pengetahuan manusia, dan watak pengetahuan manusia. Epistemologis Pancasila sebagai suatu objek kejian pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan pancasila dan susunan pengetahuan pancasila. Sumber pengetahuan pancasila yaitu nilai-nila yang ada pada bangsa Indonesia itu sendiri. Kembali pada pemikiran filsafat Aristoteles, nilai-nilai tersebut merupakan kausa materialis pancasila.
            Mengenai susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan, Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti sila-sila Pancasila itu. Susunan sila-sila pancasila bersifat hierarkis dan berbentuk piramidal, yang memiliki arti sebagai berikut.
1. Sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya.
2. Sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila ketiga, keempat, dan kelima.
3. Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama, kedua serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima.
4. Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga serta mendasari dan menjiwai sila kelima.
5. Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan keempat (Heri   Herdiawanto, 2010).
Susunan pancasila memiliki sistem logis, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut kualitas dan kuantitasnya serta menyangkut isi arti sila-sila Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan landasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistemologis Pancasila mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak, hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi.
            Kebenaran dan pengetahuan manusia merupakan suatu sintesis yang harmonis antara potensi-potensi  kejiwaan manusia, yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi. Selain itu, dalam sila ketigga, keempat dan kelima, epistemologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama berkaitan dengan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai suatu paham epistemologis, Pancasila mendasarkan pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai  karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia. Itulah sebab pancasila serta epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun perkembangan sains dan teknologi sekarang (Heri Herdiawanto, 2010).

LANDASAN AKSIOLOGIS PANCASILA
            Kajian aksiologi filsafat Pancasila membahas tentang nilai praksisi atau manfaat suatu pengetahuan  tentang Pancasila. Sila-sila Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, nilai-nila yang terkandung dalam Pancasila juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologis Pancasila  membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Nilai dalam kajian filsafat dipakai untuk merujuk pada ungkapan abstrak yang diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodnes), dan kata kerja yaitu suatu tindakan kejiwaan  tertentu dalam menila atau melakukan penilian.
            Di dalam Dictionary of Sociology and Related Sciences dikemukakan nilai adalah suatu kemampuan yang dicapai dan ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat tersebut menarik minat seseorang atau kelompok. Nilai pada hakikatnya yaitu sifat atau kualitas  yang melekat pada suatu objek. Misalnya bunga itu indah diartikan perbuatan itu baik, indah dan baik merupakan sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Nilai merupakan suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.
            Terdapat berbagai macam teori tentang nilai tergantung pada tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan pengertian niali. Kalangan materialis memandang bahwa hakikat niali yang tertinggi adalah nilai material, sementara kalangan hedonis memandang nilai tertinggi adalah nilai kenikmatan. Dari berbagai macam pandangan tentang nilai, dapat dikelompokkan pada dua macam sudut pandang, yaitu pertama, sesuatu yang bernilai berkaitan dengan subjek pemberi nilai yakni manusia dan bersifat subjektif. Sudut pandang yang kedua, yaitu pandangan yang menyatakan pada hakikatnya sesuatu yang melekat pada dirinya sendiri memang bernilai dan bersifat objektivisme.
            Notonagoro merinci tentang adanya nilai yang bersifat material dan nonmaterial. Manusia memiliki orientasi nilai yang berbeda, tergantung pada pandangan hidup dan filsafat masing-masing. Ada yang berorientasi pada nilai material dan ada yang berorientasi pada nilai nonmaterial. Nilai material rellatif lebih mudah diukur menggunakan pancaindra ataupun alat pengukur. Nilai yang bersifat rohaniah lebih sulit untuk diukur, namun dapat dilakukan dengan hati nurani manusia sebagai alat ukur yang dibantu oleh cipta, rasa, dan karsa serta keyakinan manusia (Kaelan, 2005).
            Menurut notonagoro, nilai-nilai pancasila itu termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan vital. Nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerohanian juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis seperti nilai material, vital, kebenaran, keindahan atau estetis, kebaikan atau moral, ataupun kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematis-hierarkis dimana sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis semua sila Pancasila (Darmodihardjo, 1978).
Secara aksiologis bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai pancasila (subscriber of falues Pancasila). Bangsa Indonesia merupakan  bangsa yang berketuhanan, berkemanusiaan, berkesatuan, berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Sebagai pandukung nilai bangsa Indonesia yang telah menghargai, mengakui, menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penghargaan dan penerimaan Pancasila sebagai suatu yang bernilai akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia dan bangsa Indonesia yang merupakan pengembannya dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia (Heri Herdiawanto, 2010).

WACANA AKHIR
Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki dasar ontologis, dasar epistemologis, dan dasar aksiologis yang membedakan pancasila dengan sistem filsafat lainnya. Dasar ontologis disebut juga sebagai dasar antropologis yaitu bidang filsafat yang membahas tentang halikat keberadaan sesuatu dan mencari hakikat mengapa sesuatu itu ada.
Dasar epistimologis dalam arti pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat pancasila. Epitemologis yaitu bidang filsafat yang membahas tentang hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu tentang ilmu.
Dasar aksiologis merupakan pandangan tentang nilai dan pandangan pancasila secara hierarki yang merupakan suatu kesatuan. Aksiologis merupakan bidang filsafat yang membahas tentang hakikat nilai atau filsafat yang membahas tentang nilai praksis sesuatu.










DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji. 1996. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Herdiawanto heri dan Jumata Hamdayama. 2010. Cerdas, Kritis dan Aktif Berwarganegara. Jakarta: Erlangga.
Kaelan. 2005. Filsafat Pancasila Sebagai Filsafat Bangsa Negara Indonesia. Makalah disajikan Pada Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta.
Notonagoro. 1971. Pengertian Dasar Bagi Implementasi Pancasila Untuk ABRI. Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan.
Rukiyati, M. Hum., dkk. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: UNY Press.
Titus Harild, dan Marilyn S., dkk. 1984. Living Issues Philosophy. Terjemahan oleh Rasyidi. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Zubaidi Achmad, dan Kaelan. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.


Tidak ada komentar:

>